Senin, 09 Januari 2017

PENGAKUAN AGAMA ADAT DI INDONESIA

      Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya dan juga penuh dengan keanekaragaman budaya, ras, bahasa, suku bangsa, kepercayaan dan juga agama.  Dan keberagaman tersebut membuat Indonesia mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna “Berbeda-beda tetapi tetap Satu”. Oleh sebab itu Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan oleh nilai satu agama, tetapi dengan nilai Pancasila. 
            Di Indonesia, ada 6 agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, serta Kong Hu Cu.  Namun, dibalik semua itu ada banyak sekali agama leluhur yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka.  Sayangnya keberagaman agama-agama tersebut tidak diakui oleh negara.
Melihat fenomena tersebut, kami tertarik untuk mengulas lebih lanjut mengenai agama-agama yang tidak diakui secara hukum oleh Indonesia namun tetap ada dan berkembang.  Pada akhir ulasan ini, kami akan membuat sebuah poster yang berisikan saran kepada pemerintah tentang bagaimana sebaiknya mereka diakui oleh negara.

Agama yang diakui oleh negara Indonesia.

            Penentuan agama secara yurisdis di negeri ini tidak terlepas dari tangan para penguasa yang memegang amanah masyarakat. Pada masa pemerintahan Soeharto, melalui  Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, terjadi suatu politisasi agama yaitu penyeragaman agama mengingat banyaknya agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Aturan tersebut memperkecil jumlah agama yang ada di Indonesia dengan menggabung atau menyatukan agama-agama lokal yang ada ke dalam 5 agama besar yang di sahkan yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Berjalannya waktu aturan agama di Indonesia di Indonesia mengalami perubahan dengan dimasukannya aliran kepercayaan Kong Hu Cu sebagai salah satu agama sehingga ada 6 agama yang diakui di Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid. Polemik atau pertentangan tentang keagamaan masih terjadi sekarang ini khususnya tentang pengisian identitas keagamaan di kartu identitas warga negara Indonesia.
            Seperti yang kita ketahui, Kartu Tanda Penduduk atau KTP merupakan identitas yang wajib dimiliki oleh warga negara Indonesia untuk memperoleh jaminan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Tanpa kartu identitas tersebut, penduduk Indonesia tidak akan memperoleh jaminan-jaminan yang diberikan oleh pemerintah seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, perkawinan dan lain-lain. Atau dengan kata lain penduduk yang tidak memiliki Kartu identitas (KTP) tidak diakui sebagai warga negara Indonesia. Di tahun 2013 muncul undang-undang nomor 24 tahun 2013 tentang pengosongan pengisian kolom agama di KTP. Undang-undang tersebut dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi diskriminasi terhadap pemeluk agama atau kepercayaan lokal. Jadi dengan demikian penduduk penganut agama lokal dapat mengkosongkan agama mereka dalam kartu identitas di KTP. Namun implementasi di lapangan setelah dikeluarkan Undang-undang ini berkata lain, timbul polemik yaitu pemaksaan untuk memilih salah satu agama yang ditetepkan oleh pemerintah bagi pemeluk agama lokal ketika mengurus administrasi kartu identitas penduduk.


Negara sebagai Budaya Dominan

Negara sebagai lembaga eksekutif memiliki hak prerogratif untuk mengatur jalannya suatu negara. Dengan demikian, negara memiliki peran utama dalam rangka mengatur dan menyetujui apa saja yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh warga Indonesia. Dalam hal ini, negara berperan penting untuk memberi kebijakan mengenai agama adat yang ada. Namun dengan tidak adanya pengakuan negara atas agama adat di Indonesia, membuat penganut agama adat tidak bisa memiliki akses sebagaimana yang dimiliki oleh penganut agama yang diakui oleh negara. Hal ini tentunya menyebabkan adanya kesenjangan hak yang diberikan oleh negara.


Konsep sebagai Solusi

Dalam masalah tersebut, menurut kami akar permasalahannya berada pada pemerintah yang tidak memberikan kebebasan hak dalam menentukan agama lokal yang sudah merupakan kepercayaan yang telah mereka anut jauh sebelum dirumuskannya Undang-undang yang mengatur mengenai agama tersebut.
Dari fenomena tersebut, kami memberikan solusi untuk pemerintah agar menyadari dan mewadahi agama-agama lokal yang berkembang di Indoneseia,  agar para penganut agama lokal tersebut dapat dengan maksimal menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya tanpa ada rasa terkucilkan dan termarjinalkan.





Referensi       
PENAKLUKAN NEGARA ATAS AGAMA LOKAL, Kasus Towani Tolotang di Sulawesi Selatan. Hasse J. Volume. 12, Nomor 2, Desember 2012.
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Pdt. Weinata Sairin, M.Th.. Gunung Mulia, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar