Indonesia merupakan negara yang kaya
akan sumber daya dan juga penuh dengan keanekaragaman budaya, ras, bahasa, suku
bangsa, kepercayaan dan juga agama. Dan
keberagaman tersebut membuat Indonesia mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang bermakna “Berbeda-beda tetapi tetap Satu”. Oleh sebab itu Indonesia
bukanlah negara yang berlandaskan oleh nilai satu agama, tetapi dengan nilai
Pancasila.
Di Indonesia, ada 6 agama yang
diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, serta Kong
Hu Cu. Namun, dibalik semua itu ada
banyak sekali agama leluhur yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sayangnya keberagaman agama-agama tersebut
tidak diakui oleh negara.
Melihat
fenomena tersebut, kami tertarik untuk mengulas lebih lanjut mengenai
agama-agama yang tidak diakui secara hukum oleh Indonesia namun tetap ada dan
berkembang. Pada akhir ulasan ini, kami
akan membuat sebuah poster yang berisikan saran kepada pemerintah tentang
bagaimana sebaiknya mereka diakui oleh negara.
Agama yang diakui oleh negara
Indonesia.
Penentuan agama secara yurisdis di
negeri ini tidak terlepas dari tangan para penguasa yang memegang amanah
masyarakat. Pada masa pemerintahan Soeharto, melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, terjadi
suatu politisasi agama yaitu penyeragaman agama mengingat banyaknya agama dan
kepercayaan yang ada di Indonesia. Aturan tersebut memperkecil jumlah agama
yang ada di Indonesia dengan menggabung atau menyatukan agama-agama lokal yang
ada ke dalam 5 agama besar yang di sahkan yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
dan Budha. Berjalannya waktu aturan agama di Indonesia di Indonesia mengalami
perubahan dengan dimasukannya aliran kepercayaan Kong Hu Cu sebagai salah satu
agama sehingga ada 6 agama yang diakui di Indonesia, pada masa pemerintahan
presiden Abdurrahman Wahid. Polemik atau pertentangan tentang keagamaan masih
terjadi sekarang ini khususnya tentang pengisian identitas keagamaan di kartu
identitas warga negara Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, Kartu
Tanda Penduduk atau KTP merupakan identitas yang wajib dimiliki oleh warga
negara Indonesia untuk memperoleh jaminan hak-haknya sebagai warga negara
Indonesia. Tanpa kartu identitas tersebut, penduduk Indonesia tidak akan
memperoleh jaminan-jaminan yang diberikan oleh pemerintah seperti fasilitas
pendidikan, kesehatan, perkawinan dan lain-lain. Atau dengan kata lain penduduk
yang tidak memiliki Kartu identitas (KTP) tidak diakui sebagai warga negara
Indonesia. Di tahun 2013 muncul undang-undang nomor 24 tahun 2013 tentang
pengosongan pengisian kolom agama di KTP. Undang-undang tersebut dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengurangi diskriminasi terhadap pemeluk agama atau
kepercayaan lokal. Jadi dengan demikian penduduk penganut agama lokal dapat
mengkosongkan agama mereka dalam kartu identitas di KTP. Namun implementasi di
lapangan setelah dikeluarkan Undang-undang ini berkata lain, timbul polemik
yaitu pemaksaan untuk memilih salah satu agama yang ditetepkan oleh pemerintah
bagi pemeluk agama lokal ketika mengurus administrasi kartu identitas penduduk.
Negara sebagai Budaya Dominan
Negara
sebagai lembaga eksekutif memiliki hak prerogratif untuk mengatur jalannya
suatu negara. Dengan demikian, negara memiliki peran utama dalam rangka
mengatur dan menyetujui apa saja yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh warga
Indonesia. Dalam hal ini, negara berperan penting untuk memberi kebijakan mengenai
agama adat yang ada. Namun dengan tidak adanya pengakuan negara atas agama adat
di Indonesia, membuat penganut agama adat tidak bisa memiliki akses sebagaimana
yang dimiliki oleh penganut agama yang diakui oleh negara. Hal ini tentunya
menyebabkan adanya kesenjangan hak yang diberikan oleh negara.
Konsep sebagai Solusi
Dalam
masalah tersebut, menurut kami akar permasalahannya berada pada pemerintah yang
tidak memberikan kebebasan hak dalam menentukan agama lokal yang sudah
merupakan kepercayaan yang telah mereka anut jauh sebelum dirumuskannya
Undang-undang yang mengatur mengenai agama tersebut.
Dari
fenomena tersebut, kami memberikan solusi untuk pemerintah agar menyadari dan
mewadahi agama-agama lokal yang berkembang di Indoneseia, agar para penganut agama lokal tersebut dapat
dengan maksimal menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya tanpa ada rasa
terkucilkan dan termarjinalkan.
Referensi
PENAKLUKAN
NEGARA ATAS AGAMA LOKAL, Kasus Towani Tolotang di Sulawesi Selatan. Hasse J. Volume.
12, Nomor 2, Desember 2012.
KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Pdt. Weinata Sairin, M.Th..
Gunung Mulia, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar